Imam nawawi Al Bantani Berpesan




Bekam dan Akupuntur Tuban Bojonegoro Lamongan Jawa Timur Hp : 0811163855 -

Menjadi Sarkub alias Sarjana Kuburan yang Cumlaude
(Kata Pengantar "Nyarkub: Mengkaji Kuburan" karya Mas R M Lutfi Ghozali)

Oleh: Rijal Mumazziq Z

Dalam Nashaihul Ibad, Syekh Nawawi al-Bantani berpesan. Ada tiga hal yang dapat menghilangkan kesusahan. Mengingat Allah (Dzikrullah), petuah para bijak bestari (kalamul hukama') dan bertemu dengan para kekasih-Nya (liqa-u awliyaihi).

Yang pertama bisa kita dapatkan ketika bergabung dengan majelia dzikir dan majelis ilmu, yang oleh Rasulullah disebut dengan istilah keren, Taman Surga (Riyadlul Jannah). Yang kedua bisa kita dapatkan ketika sowan kepada para ulama. Khususnya mereka yang sudah sepuh. Karena syarat menjadi seorang bijak adalah, selain punya ilmu, juga berpengalaman. Dari sowan ini kita bisa mendapatkan petunjuk. Kebijaksanaan. 

Yang ketiga, sowan kepada para kekasih-Nya. Baik yang masih hidup maupun yang telah berkalang tanah. Jika berkunjung ke orang yang masih hidup, kata Habib Umar bin Hafidz, malah mengeraskan hati dan mengingatkan cinta dunia, maka ziarah ke makam para ulama bisa menghidupkan hati. Atau, dalam istilah Gus Dur, ziarah ke makam aulia itu keren, sebab para penghuninya sudah tidak punya kepentingan duniawi lagi.

Mengapa nama Habib Umar bin Hafidz dan Gus Dur saya kutip di “Kata Pengantar” ini? Sebab, keduanya adalah peziarah rutin di makam para Waliyullah. Silahkan cek, foto-foto keduanya saat bersama ulama lain, maupun tatkala sowan di depan pusara para auliya. Banyak. Di berbagai daerah maupun negara yang disinggahi, bisa dipastikan kedua ulama dengan jutaan pengagum ini mengunjungi makam kekasih-Nya. 

Gus Dur, misalnya, dua hari setelah dilantik sebagai RI-1, alih alih mengumpulkan para politisi dan pengusaha untuk melakukan deal politik dan bagi-bagi jatah kursi, beliau malah sowan ke KH. Abdullah Salam, Kajen, Pati. Mbah Dullah seorang ulama sepuh yang asketis, hafal al-Qur'an, rendah hati, dengan wajah bersih bercahaya. Gus Dur datang melalui pintu belakang, melawati jemuran dan dapur ndalem, lalu membungkukkan tubuh mencium tangan Mbah Dullah. 

Gus Dur mengulang tradisi raja Nusantara yang meletakkan resi-pandhita sebagai kontrolir kekuasaan, mengulang kembali ritus tatkala raja yang baru dilantik meletakkan mahkota, berbaju putih, dan menanjaki bukit tanpa alas kaki semata-mata sowan meminta nasehat kepada para pertapa agung. Gus Dur juga mengulang tradisi para sultan yang membungkuk di hadapan para ulama, yang melepas jubah kebesarannya semata-mata untuk meminta kucuran doa keberkahan dari ulama. Setelah itu, beliau berziarah ke makam Mbah Mutamakkin, Kajen, leluhurnya. Mbah Mutamakkin adalah ulama oposan di era Mataram Islam, abad 17.

Selesai? belum. Ketika melakukan kunjungan ke Nigeria, 2001, Gus Dur merombak aturan protokoler kepresidenan dengan cara sowan terlebih dulu ke seorang ulama di Kano, sebuah kota besar di negeri penggila sepakbola itu. Pak Bambang Semedi, salah seorang wartawan istana negara yang ikut lawatan kenegaraan ini, menuturkan dalam acara Haul Gus Dur pada 2016, di TV9, apabila Gus Dur berpinsip berkunjung ke ulama terlebih dulu, baru ke presidennya. Di Mesir, Gus Dur juga melakukan hal yang sama. 

Sebelum bertemu dengan Presiden Husni Mubarak, Gus Dur terlebih dulu menghadap ulama Universitas al-Azhar, yang juga tempatnya menimba ilmu di masa lalu. Setelah sowan ulama selesai, barulah kunjungan kenegaraan dilakukan. [1]

Ada banyak cerita kebiasaan Gus Dur berziarah ke makam keramat. Kebiasaan yang beliau jalani sejak belia. Dengan berjalan kaki, maupun nunut naik dokar yang melintas. Kisahnya menjelajahi makam kuno di usia remaja di wilayah Jawa Timur ditegaskan dalam beberapa paragraf oleh Greg Barton dalam Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. [2]

Tak hanya mengunjungi makam yang telah masyhur, Gus Dur bahkan melakukan proses “rebranding” makam-makam ulama yang tidak terawat.

"Kang, kemarin saya mampir ke makam Mbah Kerto."
"Mbah Kerto yang mana Gus?" tanya AS Hikam. 
"Lho, masak sampeyan ndak tahu. Itu, makam yang di Bandungrejo, deket rumah sampeyan di Plumpang, Tuban."
"Wah, saya malah nggak tahu Gus, ada makam Mbah Kerto. Lagipula, beliau itu siapa, Gus?"

"Walaaaah, sampeyan ini gimana. Mbah Kertowijoyo itu salah satu waliyullah yang ada di Tuban. Saya dan Mbah Kiai (Abdullah) Faqih Langitan sering ke sana. Yang jaga makam kan Mbah Noko, dulu santrinya Almaghfurlah ayah sampeyan, KH. Abdul Fattah Mansur...."

Dialog yang terjadi pada awal 1990-an ini dikutip ulang oleh AS Hikam dalam buku Gus Dur-ku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita. [3] Mbah Kertowijoyo, dalam keterangan A.S. Hikam, bernama asli Sayyid Abdurrahman bin Abu Bakar al-Husaini. Beliau adalah panglima perang era Mataram Islam zaman Amangkurat II. Dzurriyah Rasulullah inilah yang membantu Cakraningkat melawan VOC yang menyokong Amangkurat II. Setelah pasukan ditumpas, beliau uzlah di Bandungrejo, di tepi bengawan Solo. Uniknya, beliau lebih tersohor denga nama lokal, Mbah Kertowijoyo.
Dalam kapasitas sebagai "Sarkub" alias Sarjana Kuburan, Gus Dur dan Gus Miek (KH. Chamim Djazuli) berada di level yang setara. Sejak masih muda, keduanya sudah menjelajah makam-makam keramat auliya di sekujur tanah Jawa. Setelah memiliki pengikut, bahkan keduanya mahir dalam proses "eskavasi spiritual arkeologis" yakni mempopulerkan kembali makam-makam tokoh-tokoh Islam dan waliyullah yang sebelumnya tidak dikenal atau tidak terawat, menjadi salah satu destinasi religi para peziarah.

Hanya saja, ada satu hal yang membedakan Gus Dur dengan para peziarah lain. Beliau mampu menguraikan (sekilas) biografi “penghuni makam” dengan jelas, seringkali diiringi dengan silsilah biologis dan nasab ilmu, dan juga penjelasan yang rasional dan “bukan dongeng/mitos”. Gus Dur juga mampu mempertanggungjawabkan apa yang beliau ulas dan tulis secara akademik. Silahkan dicek di berbagai kolom dan artikelnya, khususnya di buku Melawan Melalui Lelucon, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, hingga Membaca Sejarah Lama. Selain itu, sisipan cerita dan keteladanan para ulama yang kuburannya telah diziarahi olehnya berserak di karya-karya lainnya, seperti Islamku, Islam Anda dan Islam Kita, juga Islam Kosmopolitan. Inilah yang genuine dari sosok ini. Mengambil intisari dari keteladanan sosok yang telah beliau ziarahi makamnya, namun mampu mengulaskan secara rasional dan jauh dari kesan klenik-mistik-irasional dan sukar dipertanggungjawabkan.

Setelah membaca buku karya sahabat saya, Mas Muhammad Luthfi Ghozali, saya menjumpai alur yang asyik, sebagaimana gaya Gus Dur. Keasyikannya terletak pada upayanya menjelajahi makam keramat, menerima informasi berkaitan dengan sosok yang diziarahi, menelaah dan mengkroscek masa hidupnya, menelaah corak arkeologis di (inskripsi) batu nisan dan kondisi alam sekitarnya, serta dengan metodenya, mengkritisi folklore yang mengitarinya. 

Artinya, Mas Lutfi menghindari “menelan informasi tanpa mengunyahnya terlebih dulu”. Dia santri, Alumni Ponpes Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, tapi tetap berpikir akademis-ilmiah; dia sarjana kuburan alias sarkub, tapi bersikap kritis; dia menekuni hal-hal yang bersinggungan dengan wilayah tak kasat mata, namun tak hendak mempercayai apa yang telah dia dapat dari wilayah ini, melainkan menelaah ulang dan dalam bahasa yang dia gunakan “demit-ologisasi kuburan”. 

Dia mengais informasi sosok yang dimakamkan berdasarkan folklore, tapi di sisi lain juga menelaah dengan tekun berdasarkan referensi yang valid, dan tak segan-segan meragukannya.

Dari sini, Mas Luthfi telah melanjutkan apa yang telah diperjuangkan oleh Gus Dur sebagai santri yang bukan saja mencintai orang yang dimakamkan, melainkan juga hal-hal yang berkaitan dengannya; yang dinukil berdasarkan folklore, lantas mengkomparasikannya dengan basis data historis, juga arkeologis, bahkan sosiologis. Selebihnya, sahabat saya ini melengkapi berbagai kajian “berbasis kuburan”, dari apa yang telah dilakukan oleh para akademisi seperti Uka Tjandrasasmita [4], Claude Guillot & Ludvik Kalus [5], Hasan Muarif Ambary [6], Agus Sunyoto [7], Hamidullah Ibda [8] hingga Yaser Muhammad Arafat [9]. 

Kalau kunjungan ke makam para wali lantas menuliskan hal-hal unik seputar peziarahan, buku karya Mas Luthfi ini mengingatkan kita pada buku yang ditulis oleh George Quinn, etnolog Australian National University, Wali Berandal Tanah Jawa (Jakarta: KPG, 2021), yang bahasa dan bahasannya mempesona itu. [10] Juga ulasan berbagai makam yang menjadi destinasi ziarah di kawasan Arab, Afrika hingga Asia Tengah di buku Ziarah dan Wali di Dunia Islam (Jakarta: Serambi, 2007) karya Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot yang menawarkan kajian kesejarahan dan sosiologis-arkeologis itu.[11] 

Di buku ini, yang merangkum pengalaman Mas Luthfi dalam menjelajah dan menelaah makam-makam keramat, atau setidaknya “yang dipercaya sebagai makam keramat”, kita akan tahu bahwa penulisnya bukan saja Sarjana Kuburan alias Sarkub sebagaimana judul buku ini, Nyarkub; melainkan penekun kajian arkeologis. Dia juga mengkritisi cara pandang masyarakat yang mudah percaya pada klaim jika ini adalah kuburan A dll, atau gampang mengiyakan silsilah nasab tokoh yang dimakamkan tanpa mengkroscek dan memvalidasi, juga menggugat validitas “sumber” cerita yang berbasis lelembut.

Dalam hal mengkritisi validitas keberadaan makam, KH. Abdul Qoyyum bin Mansur, Pengasuh Pesantren Annur, Lasem, Rembang, beberapa kali menyampaikan dalam ceramahnya. Soal penyelenggaraan haul wali, KH. A. Qoyyum bin Mansur Lasem, Rembang, mengakui jika umat Islam Indonesia itu hobinya bikin haul. Sampai-sampai panitianya pun orang awam.

Dalam kesempatan menghadiri haul ulama, Gus Qoyyum yang diundang menjadi pembicara merasa aneh mendengar sambutan panitia.

"Hadirin yang terhormat, kami mewakili panitia HA-UL mengucapkan bla bla bla...dan dalam HA-UL ini...bla bla bla...sehingga HA-UL ini menjadi bla bla bla..."

Gus Qoyyum mikir, kok ada yang aneh. Oh ternyata orang awam yang menyampaikan sambutan atas panitia tadi melafalkan Haul, dengan pengucapan polos: HA-UL. Meleset dari pelafalan yang benar: khol. Ini saking awamnya panitia, kata Gus Qoyyum.

Keponakan KH. MA. Sahal Mahfudz ini kemudian lanjut bercerita. Pernah ada kejadian yang membuat beliau dikompain beberapa kiai. Apa pasalnya? 

Serombongan panitia haul seorang habib sowan Gus Qoyyum. Bermaksud mengundang beliau sebagai mubaligh dalam acaranya.

"Siapa yang dihauli kang?"
"Sayyid Abdurrahman, yai."

Gus Qoyyum pun hadir. Acara lancar. Panitia puas. Tahun berikutnya beliau juga diminta ngisi acara. Kali ini panitia sudah berganti orang lain.

"Setahun kemudian saya diundang lagi di desa itu. Makamnya ya sama. Tapi nama yang dihauli sudah berbeda. Jika sebelumnya bernama Sayyid Abdurrahman, kali itu namanya sudah berganti, Sayyid Abdussalam."

Wah, ada yang nggak beres ini. Benarlah, setelah dikomplain sesama kiai, Gus Qoyyum enggan hadir lagi di situ. Alasannya? "Yang saya dengar, kabar terbaru namanya sudah berubah lagi: Sayyid Abdul Qodir. Lha ini gimana, yang dihauli satu orang, tapi namanya ganti-ganti sesuai dengan pergantian panitia. Ya begini ini kalau panitianya gonta ganti. Ini panitianya minal jinnati wan nas ini! hahahaha"

Soal kaitan antara Gus Qoyyum dengan haul, selesai? Belum. Beliau lanjut bertutur:

"Di Rembang, juga ada. Satu desa ada dua makam. Nama (di nisannya) sama. Satu sosok, makamnya ada dua. Seorang kiai bertanya, ini dulu haulnya di makam sana, kok sekarang makamnya di sini?"

"Nggih yai, Mbah Wali-nya nggak kerasan di sana, akhirnya kami pindah makamnya di sini."
Wah, payah ini, panitianya minal jinnati wan nas. Hahahaha. [12]

Menyikapi hal-hal yang wagu seperti ini, jangan khawatir, Mas Lutfi sudah berusaha menjelaskan fenomena mengapa ada satu tokoh tapi memiliki banyak makam, mengapa ada kerancuan antara makam dengan petilasan, juga akar historis satu orang memiliki berbagai macam nama dalam tradisi Jawa (seperti Pangeran Diponegoro). Termasuk ulasan menarik beberapa ulama yang menjadi validator makam-makam yang awalnya “hilang secara erkeologis”, dan kemudian dengan metodenya berhasil melakukan validasi atas tokoh yang dikebumikan di dalamnya. 

Hanya saja, ini yang saya sukai, dalam upaya penulisan buku ini, Mas Lutfi menggunakan pola simpatik untuk mendudukkan perkara sebenarnya, atau berusaha meluruskan kembali yang telah bengkok. Dia tidak menggunakan pendekatan justifikatif brutal dan vonis ala Hartono Ahmad Jaiz dan Hamzah Tede dalam Kuburan-Kuburan Keramat di Nusantara. [13]

Yang lebih menarik lagi adalah sajian khusus tentang pernisanan. Dia melakukan telaah pada inskripsi yang tertera di batu nisan juga bahan baku yang dipakai, hingga mengamati secara detail kontur alam tenpat kuburan berada. Eksotisme pernisanan yang diolah dengan pendekatan akademis-historis-arkeologis. Klop dan menarik!

Oleh karena itu, sungguh saya sepakat dengan apa yang ditulis oleh Mas Lutfi dalam muqaddimah buku ini, “….yang saya khawatirkan, sebenarnya, adalah dunia perkuburan kita terlalu banyak dipenuhi mitos-mitos yang tidak jelas bersumber dari mana. Dampaknya, banyak oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang “menggoreng” mitos tersebut untuk memuluskan tujuan liciknya. Mulai dari jual beli barang keramat di kuburan, penunjang predikat keramat sebagai penambah jamaah atau pengikut, dan banyak lagi motif yang lain.”

Saya nyengir saja membaca kegelisahan di atas. Sebab, yang demikian memang ada. Bahkan, ini yang miris, di sebuah kompeks pemakaman seorang anggota Walisongo, puluhan batu nisan kuno yang berada di sekitar makam beliau dipindahkan, dan diganti marmer mewah secara seragam. Aduh! Tak ada lagi tebaran artefak  berukir indah dengan corak beragam, yang menandai era hidup sosok yang dimakamkan di bawahnya, melainkan berganti jejeran nisan marmer (yang dianggap mewah) terkini. Inilah salah satu keruwetan yang ada di wilayah makam-makam Wali. Demi eksotisme dan “sedap dipandang” tebaran barang arkelogis dipindah demi tujuan kepraktisan dan, mungkin saja, atas nama “wisata religi”.

Via Purgativa

Ziarah ke makam Waliyullah, merupakan salah satu tradisi ulama salaf. Imam Syafi’i berziarah ke Makam Imam Abu Hanifah, sebagaimana keterangan KH. M. Hasyim Asy’ari dalam kitab At-Tibyan fin Nahyi 'an Muqatha'atil Arham wal Aqarib wal Ikhwan. Demikian pula tradisi lain yang dilestarikan oleh ulama Ahlussunnah Wal Jamaah. Di Tarim, Hadramaut, para Sadat Alawiyyin juga merutinkan tradisi berziarah ke makam para wali di pekuburan Zanbal, termpat dikebumikannya ribuan jasad kekasih-Nya. Bahkan, ini yang jarang ditulis, Sultan Muhammad al-Fatih sebelum menaklukkan Konstantinopel terlebih dulu berziarah ke makam sahabat Nabi, Abu Ayyub al-Anshariy, radliyallahu ‘anhu. Perziarahan ini merupakan saran dari gurunya, seorang sufi agung, Syekh Syamsuddin, yang dipuji oleh Sultan Muhammad al-Fatih dengan kalimat indah:

ﻟﻴﺲ ﻓﺮﺣﻲ ﻟﻔﺘﺢ اﻟﻘﻠﻌﺔ ﺇﻧﻤﺎ ﻓﺮﺣﻲ ﺑﻮﺟﻮﺩ ﻣﺜﻞ ﻫﺬا اﻟﺮﺟﻞ ﻓﻲ ﺯﻣﻨﻲ

"Kebahagiaan saya bukan keberhasilan menaklukkan Konstantinopel, tapi kebahagiaan saya karena keberadaan pria ini di masa saya” [14]

Dalam konteks dunia sufi, kematian bukanlah sebuah terminasi, melainkan garis transisi buntuk memulai hidup di alam yang baru. Maka, dalam wilayah sufisme, kematian adalah ibarat pintu gerbang untuk menapaki kehidupan baru yang lebih indah. Setapak lebih dekat pada singgasana Tuhan. Dengan begitu, kematian bukanlah kehancuran dan perjalanan turun, melainkan jenjang naik. Maka, dalam dunia Sarkub, bukan barang aneh jika di antara mereka ada yang bisa berkomunikasi dengan penghuni kubur, terutama dari kaum yang saleh. Sebab, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Surat Ali Imran 169, bahwa “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki.”

Maka, sekali lagi, dalam konteks sufisme, dunia kuburan menawarkan sebuah pemahaman melampaui batas eksistensi dan rasionalitas. Ia menjadi medium pengembaraan spiritual yang mempesona, meskipun dunia seperti ini sulit dipahami kalangan yang mengedepankan rasio. Oleh karena itu, dunia Sarkub tidak bisa dipahami secara apriori, bahwa mereka adalah “penyembah kuburan”, sebagaimana kecurigaan kaum puritan. Mereka adalah para pengembara spiritual yang mendapatkan kenikmatan dengan mengunjungi makam orang-orang saleh, sebab selain mengingatkan akan kematian (sebagaimana disabdakan Rasulullah), tabarrukan: memohon keberkahan kepada Allah dengan cara ikut mencintai orang yang dicintai-Nya, tasyakuran (bersyukur kepada Allah) dengan mengenang jasa dan jejak langkah perjuangan orang saleh, dan pembangkit semangat untuk melanjutkan perjuangan mereka.

Fenomena Sarkub inilah yang disebut sebagai via purgativa oleh Annemarie Schimmel, yaitu cara-cara menyucikan diri dalam usaha untuk berhubungan dengan yang Mahasuci (At-Takhally, dalam istilah tasawuf). Dalam konteks dunia Sarkub, penyucian diri harus dimulai dengan memantulkan—dalam konsep cermin  al-Ghazali--dimensi keilahian dalam diri manusia dengan menjauhkan sifat-sifat tercela, lalu memasrahkan diri pada Persona Yang Mahahadir (Omnipresen). Eksistensi yang relatif akan lenyap ke dalam eksistensi yang absolut. 

Keyakinan dan perasaan akan kemahahadiran Tuhan inilah yang memberi energi, pengendalian, sekaligus kedamaian hati seseorang, sehingga yang bersangkutan  senantiasa berada dalam orbit keilahian, bukannya putaran dunia yang tak jelas lagi ujung pangkalnya.

Akhirnya,  setelah merampungkan telaah keren di buku ini, kita berharap bisa diwisuda sebagai Sarkub dengan predikat cumlaude.

Wallahu A’lam Bishshawab.

Catatan Kaki:
[1] Dalam catatan Arsip Nasional RI, kunjungan ke Kano ini dilaksanakan pada 27-28 Februari 2001. Saat itu Presiden RI K.H. Abdurrahman Wahid disambut meriah dan berbincang akrab dengan Ketua Komite Durbar Emirat Kano, Aminu Ado Bayero di wilayah suku Kano.

[2]  Greg Barton dalam Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LKiS, 2002), 56

[3] Muhammad A.S. Hikam, Gus Dur-ku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita (Bandung: Yrama WIdya, 2013), 63.

[4] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: KPG, 2009).

[5] Claude Guillot dan Ludvik Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia (Jakarta: KPG, 2008) 

[6] Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Arkeologi dan Islam di Indonesia (Jakarta: Puslit Arkenas, 1998). 

[7] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah (Depok: Pustaka IIman dan Lesbumi, 2016).

[8] Hamidulloh Ibda, Peradaban Makam: Kajian Inskripsi, Kuburan, dan Makam (Yogyakarta: ASNA Pustaka, 2019)

[9] M. Yaser Arafat, Nisan Hanyakrakusuman Batu Keramat dari Pasarean Sultanagungan di Yogyakarta (Yogyakarta: SUKA Press, 2022).

[10] George Quinn, Wali Berandal Tanah Jawa (Jakarta: KPG, 2021).

[11] Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam (Jakarta: Serambi, 2007).

[12] Disampaikan Gus Qoyyum dalam salah satu ceramah beliau. Silahkan cari sendiri di YouTube.

[13] Hartono Ahmad Jaiz dan Hamzah Tede, Kuburan-Kuburan Keramat di Nusantara (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011).

[14]  Syekh Asy-Syaukani, al-Badr at-Thali', Juz 2, halaman 167. PDF.

Komentar

Postingan Populer